1. PENDAHULUAN
Ketika seseorang merasakan nyeri hebat, ia biasanya mencari pertolongan medis tidak hanya karena ia ingin meredakan nyeri, tetapi juga karena ia meyakini bahwa nyeri menandakan penyakit yang serius. Persepsi ini menyebabkan kecemasan, yang pada akhirnya meningkatkan nyeri pasien.
Intervensi yang digunakan untuk mengatasi nyeri dapat mencakup tindakan farmakologi, dukungan emosional,tindakan kenyamanan, dan teknik kognitif untuk mendistraksi pasien. Nyeri hebat biasanya membutuhkan analgesic opioat. Tindakan invasive, seperti analgesic yang dapat dikontrol pasien (patient Controlled Analgesia, PCA) dan analgesa epiduraljuga dapat diperlukan.
Ketika memilih intervensi untuk membantu pasien mengatasi nyeri, perhatikan hal-hal berikut ini :
- Pilih intervensi farmakologis yang tepat untuk tingkat nyeri pasien.
- Antisipasi efek merugikan akibat pengguanaan obat, khususnya pada lansia, dan atasi efek merugikan tersebut dengan cepat.
- Lakukan pengkajian status pasien secara berkala dan seksama untuk menentukan pendekatan yang optimal untuk mencapai kenyamanan.
- Nyatakan dan bahas pentingnya factor-faktor psikososial mengenai persepsi nyeri pasien dan maknanya.
- Ungkapkan rasa empati dan perhatian terhadap pasien yang mengalami nyeri.
Nyeri adalah masalah bagi pasien dalam semua kelompok usia. Studi secara konsisten menunjukkan nyeri yang tidak ditangani dengan baik. Kurang dari 1% dari 4000 makalah tentang nyeri yang diterbitkan setiap tahunnya memfokuskan pada lansia. Studi ayang ada secara konsisten menunjukkan bahwa penanganan nyeri adalah suatu masalah. Penggunaan analgesic menurun seiring bertambahnya usia, dan lansia menambah sejumlah kecil nyeri pada saat masuk ke klinik. Suatu studi pada penghuni rumah perawatan lansia melaporkan bahwa 83% mengalami nyeri, banyak berada pada tingkat berat.
Terdapat beberapa alasan mengapa nyeri dan kurangnya masalah penanganan nyeri dapat menjadai masalah bagi lansia. Pertama, prevalensi kondisi yang menyakitkan dan penyakit sering terjadi pada usia tua. Nyeri arthritis terjadi pada lebih dari setengah jumlah seluruh lansia dengan osteoartriris yang menyebabkan lebih banyak nyeri kronis daripada kondisi yang lain. Jenis nyeri lain yang sering terjadi pada lansia adalah sakit kepala,nyeri punggung bagian bawah, dan nyeri tajam dan menusuk, nyeri neuropatik terbakar (misalnya fantom ekstremitas, neuropati diabetes, neuralgia pascaherpetik, neuralgia trigeminal, dan kausalgia).
Mungkin sulit bagi beberapa pasien untuk mengomunikasikan nyerinya karena nyeri adalah perasaan subyektif. Lansia mungkin segan untuk mengatakan bahwa mereka mengalami nyeri, dan jika ya, laporannya sering tidak ditanggapi oleh pemberi perawatan kesehatan yang salah mempercayai bahwa lansia tidak dapatmerasakan nyeri atau tidak mampu untuk menilainya.
Lansia tidak memberitahukan tentang nyeri mereka karena beberapa alasan : mereka menyuakai dokternya dan tidak ingin mengecewakannya, mereka tidak terbiasa mengeluh, dan mereka percaya bahwa nyeri adalah gagian normal dari penuaan.
Lansia mungkin menghadapi beberapa stressor, seperti ketidakamanan financial, tidak adanya orang yang mendukung, penolakan, penyakit kronis, keterbatasan mobilitas, dan menurunnya ketajaman penglihatan dan pendengaran. Mereka juga dapat merasa takut dengan pengobatan nyeri dan potensial efek samping dan memiliki ketakutan yang berlebihan untuk mengalami adiksi. Stressor-stresor tambahan ini dapat menimbulkan peningkatan ansietas.
Nyeri itu sendiri dapat memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien. Efek nyeri dapat menyebabkan penurunan aktivitas, isolasi sosial, gangguan tidur, dan depresi.
2. SIFAT PENGALAMAN NYERI
Nyeri Akut dan Kronis
Nyeri dapat akut atau kronis. Nyeri akut terjadi akibat cedera akibat jaringan-jaringan (misalnya: pembedahan, inflamasi, trauma) dan memberitahukan pada orang tersebut bahwa pertolongan diperlukan. Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung dari satu detik sampai biasanya kurang dari 3 bulan. Nyeri akut memiliki penyabab yang dapat diidentifikasi, yaitu awitan kejaaian yang berlangsung dalam waktu pendek dan tiba-tiba, terbats dan menurun seiring dengan penyembuahan. Hal tersebut biasnya disertai dengan ansietas. Penatalaksanaan nyeri akut pada lansia hamper sama denag yang terjadi pada pasien yang lebih muda. Nyeri akut biasnya menurun setelah penyebabnya ditangani dengan pengobatan, istirahat, pembedahan, panas atau dingin, atau imobilisasi.
Nyeri kronis sering terjadi pada lansia. Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyebabnya mungkin diketahui persisten atau progresif (misalnya arthritis rheumatoid atau kanker) atau tidak diketahui atau sulit untuk ditemukan.
Perawat memiliki peran yang penting dalam mambantu menanganu nyeri pasien. Salah satu cara yang paling sederhana adalah untuk mempercayai pasien dan mengakui bahwa nyeri tersebut nyata. Dukungan harus diberikan untuk menunjukkan bahwa perawat mencoba untuk memahami nyeri tersebut.
Lansia cenderung mengalami nyeri kronis, tetapi perwat harus menyadari bahwa kedua tipe nyeri tersebut dapat terjadi pada orang yang sama, dan setiap tipe memerlukan penanganan khusus.
3. ASPEK-ASPEK PSIKOSOSIAL DARI NYERI
Bagian dari respons nyeri yang dibangkitkan oleh otak merupakan suatu komponen emosional. Karena pengalaman nyeri seseorang bersifat alamiah dan unik, lansia dapat merasa sendirian dan cemas. Mereka merasa takut kalau nyeri tersebut tidak akan pernah pergi, jika hal itu terjadi, nyeri akan kembali lagi. Ansietas mereka mungkin dikombinasikan dengan depresi, karenanya akan mengganggu kendali nyeri lebih lanjut. Selain itu, lansia sering mengalami berbagai kehilangan yang membuat mereka merasa berduka: keamanan ekonomi, teman-teman dan keluarga yang dapat mendukung,kemandirian, kesehatan, kekuatan, dan kenyamanan tubuh. Mereka bisa merasa tidak bedaya untuk mengendalikan nyeri dan dampaknya pada kehidupan mereka. Masalah lain yang dapat mempersulit penatalaksanaan nyeri adalah penyalit kronis, regimen obat multiple dan efek-efek yang berkaitan denagn penuaan pada kimia otak, termasuk penurunan kadar opiat endogen.
Lansia mungkin mengalami konfusi karena penurunan aliran darah otak, efek obat, dan nyeri. Mungkin terdapat deficit memori yang dapat terganggu oleh pengobatan sendiri dan deskripsi nyeri yang akurat. Kejadian nyeri sebelumnya dapat juga memiliki efek pada pengalaman nyeri saat ini. Lansia memiliki akumulasi berbagai memori tentang kejadian-kejadian yang menyakitkan.
Lansia dengan nyeri kronis dapat menjadi tidak bersahabat atau menyiksa diri. Banyaknya stressor ini sering memengaruhi hubungan interpersonal secara berlawanan. Keluarga dan teman-teman dapat menarik diri, demikian juga pasien tersebut. Anggota keluarga perlu di bantu untuk memahami seperti apa nyeri yang dirasakan, untuk membantu pasien bicara tentang perasaan-perasaan ini dan menemukan cara untuk mengendalikannya.
Perawat dapat membantu pasien-pasien yang mengalami nyeri ini secara sederahan hanya dengan menggunakan keterampilan interpersonal yang baik. Mendengarkan pasien lansia dapat memperkuat kemampuan koping mereka. Beriakan dukungan pada pasien untuk tetap seaktif mungkin. Informasi untuk membantu pasien-pasien ini mencapai beberapa pengendalian terhadap nyeri yang mereka rasakan. Peran perawat adalah untuk membantu pasien lansia yang mengalami nyeri mempertahankan kenyamanannya semaksimal mungkin dan mempertahankan kualitas kehidupan yang baik.
4. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pencegahan primer.
Lansia adalah subyek terhadap nyeri akut dari infeksi, pembedahan, dantrauma. Masalah-masalah keseimbangan, vertigo, ketidakstabilan sendi,kelemahan otot, dan penurunan ketajaman penglihatan merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami kecelakaan. Hal yang penting untuk mencegah dan mengatasi rasa nyeri adalah mempertahankan kesehatan yang optimal. Nutrisi, hidrasi, tidur, dan aktivitas perlu di tingkatkan.
2. Pencegahan sekunder
Pengkajian
Nyeri terlebih dahulu harus diidentifikasi dan didokumentasikan. Banyak orang percaya bahwa nyeri tidak dapat dihindarkan seiring dengan penuaan. Lansia dapat menyangkal rasa nyeri yang dirasakannya karena takut menderita kanker, pengobatan medis, biaya, menjadi beban keluarga, atau kemungkinan diinstitusionalisasi.
Tersedia beberapa alat yang sangat membantu untuk mengkaji nyeri. Salah satu alat yang paling nyaman digunakan adalah skala intensitas nyeri 0 sampai 10 (Gambar 1-1).
Dengan menggunakan skala ini, perawat menanyakan kepada pasien : “Pada skala 0 sampai 10, dengan 0 mewakili tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri paling buruk yang dapat dibayangkan, seberapa berat nyeri anda? Berapa nomor terbaik atau terendah yang dicapai dalam periode 24 jam? Berapa nomor terburuk atau tertinggi yang telah dicapai?”
Skala memberikan suatu pemahaman yang lebih objektif tentang nyeri seseorang. Skala tersebut biasanya dengan mudah dapat digunakan dalam berbagai situasi. Grafik “wajah-wajah nyeri” dan gambar grafik tubuh juag merupakan alat yang sangat berguna. Lansia harus diminta untuk menggambarkan kualitas nyeri dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Perawata dapat meminta pasien untuk menentukan apa yang membuat nyeri terasa lebih baik atau apa yang membuatnya lebih buruk. Mengetahui nyeri apa yang sedang digambarkan merupakan hal yang penting. Anjurkan paisen untuk menunjuk kedaerah nyeri atau menandai lokasinya pada grafik tubuh.
Jika lansia mengalami nyeri akut, hanya pertanyaan yang esensial yang harus ditanyakan. Seringnya memposisikan pasien atau imobilisasi apat memperberat nyeri. Pertanyaan yang tepat adalah sebagai berikut : Kapan nyeri dimulai? Bagaimana kualitasnya, termasuk intensitas? Apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya? Kapan hal itu terjadi? Apakah Anda mengalami nyeri kronis? Dimana itu? Bagaimana kualitasnya? Tindakan-tindakan apa yang dapat mengatasinya? Bantuan apa yang Anda inginkan? Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan nyeri kronis dapat di tunda untuk waktu yang singkatsampai orang tersebut merasa lebih nyaman.
Untuk melakukan pengkajian nyeri yang lengkap, perawat harus menanyakan kepada klien tentang riwayat medisnya. Sering kali, ketika psien berada dalam kondisi nyeri, ia mungkin pergi ke beberapa dokter dan menerima berbagai jenis resep. Perawat harus menemukan pengobatan yang digunakan oleh pasien, baik yang diresepkan maupun yang dibeli bebas. Jika terdapat penyakit penyerta, ada risiko terjadi toksisitas dan reaksi sensitifitas karena asupan obat-obat yang tidak sesuai. Apakah pasien menggunakan obat-obat tradisional untuk nyeri? Bagaimana nyeri mempengaruhi kualitas kehidupan klien? Aktivitas? Fungsi sosial? Apakah pasien mengalami depresi karena rasa nyerinya?
Perawat harus membangun rasa percaya dengan cara pada awalnya membiarkan paasien mengetahui bahwa perawat percaya. Perawat harus tampak tidak tergesa-gesa dalam pengkajian, memberikan waktu pada pasien untuk berespons. Perawat harus menghadap kearah orang tersebut, berbicara perlahan-lahan dan jelas. Pasien mungkin memiliki masalah kognitif ringan atau berat, dan mungkin menunjukkan masalah penglihatan atau pendengaran. Perawat harus siap untuk membaca atau menunjukkan pertanyaan atau menggambarkan skala nomor pada pasien.
Evaluasi pengurangan rasa nyeri yang telah dicapai sangat penting untuk mencegah nyeri memuncak melebihi tingkat yang dapat ditoleransi. Perawat tidak dapt bergantung pada pasien dalam melaporkan pengurangan nyeri yang tidak adekuat karena ia percaya bahwa pengurangan nyeri yang telah dicapai adalah yang terbaik atau permintaan bantuan lain mungkin di tolak.
Pasien harus dianjurkan untuk mengatakan rasa nyerinya dan membiarkan pemberi perawatan, anggota keluarga, perawat, atau dokter mengetahui jika nyeri tidak terkendali. Namun, perawat tidak boleh menjanjikan kepada pasien bahwa nyeri akan dapat dihilangkan sepenuhnya. Tujuannya adalah untuk menurunkan nyeri sampai pada tingkat yang dapat ditoleransi dan tingkat fungsional.
Kesulitan dalam pengkajian nyeri dapat terjadi pada lansia yang tidak dapat mengungkapkan sesuatu secara verbal, koma, atau konfusi. Perilaku-perilaku tertentu dapat mengekspresikan nyeri seperti mengerang, kegelisahan, atau penarikan diri. Juga, perawat harus waspada bahw setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien yang dapat berbicara dikatakan sebagai penyebab nyeri mungkin juga menjadi penyebab nyeri pada pasien yang tidak bisa berbicara dalam situasi yang hampir sama. Reaksi terhadap penanganan nyeri mungkin sama tidak bergantung pada apakah dia bisa atau tidak bisa mengungkapkan nyeri secara verbal. Contoh kondisi ini adalah mengatur posisi pasien dengan fraktur atau kontraktur, mengganti balutan dan pemberian makanan melalui slang. Pasien tersebut harus diobati walaupun mereka tidak dapat mengungkapkan nyerinya.
5. INTERVENSI KEPERAWATAN DENGAN FARMAKOLOGIS
Analgesic secara kontinyu merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan nyeri. Untuk mencapai pengendalian nyeri yang optimal melalui penggunaan analgesic, seseorang harus mamahami prinsip-prinsip dasar dari pemberian analgesic.
Tiga jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk mengendalikan nyeri : analgesic non opioid, opioid dan adjuvan. Adjuvant bukan merupakan analgesic yang sebenarnya, tetapi zat tersebut dapat membantu jenis-jenis nyeri tertentu, terutama nyeri kronis.
NONOPIOID
Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesic nonopioid (non-narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini bekerja terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri. Efek analgesic dari obat-obat tersebut sama (1000 mg/dosis adalah optimal) tetapi efek anti inflamasinya bervariasi. Obat ini biasanya tidak bisa membantu menangani nyeri inflamasi seperti arthritis rheumatoid atau osteoarthritis karena asetaminofen memiliki sedikit efek antiinflamasi. Walaupun asetaminofen secara umum aman, dan mudah dibeli, obat ini memiliki efek samping utama, yaitu hepatotoksik. Pemberian penjelasan kepada pasien dan keluarganya oleh perawat adalah hal yang krusial. Banyak analgesic mengandung asetaminofen yang tidak disadari oleh pasien (Darvocet N100, Vicoden, Lortab, Tylox). Pasien dapat juga menggunakan asetaminofen yang dibeli bebas dengan salah menganggap bahwa obat tersebut tidak membahayakan. Perawat harus memantau dosis harian asetaminofen untuk memastikan dosisnya kurang dari 4000 mg/hari.
Aspirin adalah salah satu obat antiinflamasi nonsteroid (Non-Steroid Anti-Inflamatory Drugs [NSAID]). Penghilang nyeri yang bernilai untuk banyak tipe nyeri, NSAID bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, mediator penting dalam nyeri dan inflamasi. Obat-obat NSAID sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan inflamasi pada banyak kondisi yang umum terjadi pada lansia: arthritis rheumatoid, osteoarthritis, nyeri punggung dan leher, nyeri pascaoperasi, sakit gigi, dan nyeri yang bermetastasis pada tulang.
NSAID bukannya tanpa efek samping, yang paling sering adalah gangguan pada gastrointestinal. Kemungkinan efek samping lain termasuk perdarahan gastrointestinal (dua pertiganya asimptomatik sebelum terjadi perdarahan), retensi cairan dan komplikasi ginjal. Perawat khususnya harus waspada terhadap kemungkinan efek ginjal dari NSAID, yang cenderung terjadi pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif atau penyakit hati atau mereka yang menggunakan diuretic. Pemantauan fungsi ginjal secara ketat pada semua pasien yang menggunakan NSAID secara rutin merupakan hal yang penting. Pantau pasien yang menggunakan NSAID jangka panjang untuk mengetahui adanya efek yang tidak diinginkan apakah mereka mengalami nyeri gastrointestinal atau edema? Anjurkan klien untuk melakukan pemeriksaan feses rutin untuk mengkaji adanya darah samar, fungsi ginjal, dan hati.
Beberapa NSAID dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang menyebabkan iritasi GI: salsalat (Disalcid), kolin magnesium trisalisilat (Trisilate), diflunisal (Dolobid), dan nabumeton (Relafen). Jika terjadi maslah GI, misoprostol (Cytotex) dapat diberikan untuk melawan efek samping NSAID pada gastrointestinal.
Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang yang mengakami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin (Indocin) adalah NSAID lain yang tampaknya memiliki peningkatan efek pada ginjal. Kedua NSAID ini tidak dianjurkan untuk lansia.
Ketika memulai pengobatan NSAID pada lansia dengan NSAID, dokter sering meresepkan setengah sampai dua pertiga dari dosis yang dianjurkan. Dosis kemudian ditingkatkan secara perlahan-lahan (setiap minggu) sampai tercapai dosis yang dianjurkan. Semua obat nonopioid memilki efek tertinggi. Ketika dosis optimal telah dicapai pasien tersebut tidak akan mengalami pengurangan nyeri lagi, hanya efek sampingnya saja. Jika NSAID telah diberikan dalm percobaan yang adekuat (2 sampai 3 minggu) dan pengurangan nyeri pada pasien belum tercapai, dokter perlu diberitahukan. Pasien kemudian dapat diberikan NSAID dalam kelas yang berbeda sampai tercapai kombinasi optimal yang dapat memberikan pengurangan nyeri tanpa efek samping yang mengganggu.
NSAID adalah penghilang nyeri yang sangat berharga untuk berbagai tipe nyeri yang sering terjadi pada lansia. Perawat memiliki tanggung jawab besar untuk mengajarkan pada pasien dan keluarga tentang hal-hal yang penting yang menyangkut pengobatan ini.
OPIOID
Analgesic opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opioid direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua jenis opioid: analgesic agonis murni (jenis morfin) dan campuran agonis antagonis pentazocin (Talwin), nalbufin (Nubain), dan butorfanol (Stadol).
Agonis murni memiliki tempat yang penting dalam meredakan nyeri. Obat-obat ini berbeda terutama dalam potensi, durasi kerja, dan efek sampingnya pada lansia. Agonis murni memiliki keuntungan dengan tersedianya dalam berbagai rute dan variasi, dan efek analgesiknya tidak memiliki batas atas.
Morfin adalah analgesic opioid standar diantara jenis lain yang dibandingkan. Morfin, oksikodon (Oxycontin), dan hidromorfon (Dilaudid) dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang dalam keadaan nyeri berat. Fenatanil (koyo Duragesik) sangat berguna untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis yang tidak dapat menelan. Kodein dan Oksikodon (Percodan, Tylox) dianjurkan untuk nyeri ringan sampai sedang. Dolofin (Methadone) dan levorfanol (Levodromoran) harus dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki waktu paruh yang panjang dan dapat berakumulasi dan menyebabkan sedasi berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain.
Opioid efektif untuk hampir semua tipe nyeri. Sebagian besar literatur nyeri merekomendasikan “dimulai dengan dosis rendah dan berjalan perlahan-lahan” ketika memilih dosis awal opioid untuk lansia.
EFEK SAMPING
Melakukan observasi terhadap interaksi dan tanda-tanda toksisitas merupakan hal yang krusial untuk dilakukan karena adanya perubahan fisiologis yang dihubungkan dengan penuaan dan masalah dari kondisi multiple yang mungkin sedang ditangani. Tanda-tanda dari reaksi yang tidak diinginkan mungkin tidak dikenali karena tanda-tanda tersebut menggambarkan tanda-tanda gangguan pada lansia seperti konfusi, tremor, depresi, kelemahan, konstipasi, dan hilangnya nafsu makan.
Konstipasi dan mual atau muntah adalah dua efek samping opioid yang sering terjadi. Motilitas GI dapat berkurang, yang mengakibatkan konstipasi. Mual adalah efek samping opioid yang salah dianggap sebagai reaksi alergi. Untuk pemberian opioid yang terjadwal secara teratur sepanjang waktu, terutama dengan nyeri kanker atau nyeri kronis yang lain, obat antiemetic harus diberikan sampai mual berkurang. Sedasi adalah kemungkinan efek samping yang lain.
Depresi pernafasan adalah efek samping opioid yang umumnya ditakuti. Namun, depresi pernafasan jarang terlihat pada pasien yang menggunakan opioid dalam waktu lama karena nyeri atau stress (atau keduanya) merupakan stimulus untuk bernafas. Pasien tidaka akan mengalami depresi pernafasan pada saat terjaga.
Lansia lebih sensistif terhadap aksi dan efek samping obat, terutama hipnotik dan opioid. Ukuran tubuh dan volume tubuh total telah berkurang. Sebagai akibat dari berkurangnya klirens hepatic dan renal, durasi aksi obat menjadi lebih lama, sehingga memberikan kesempatan kadar toksik terakumulasi di dalam tubuh. Dehidrasi dan hemokonsentrasi yang menyertainya, yang umum terjadi pada lansia, semakin memperberat masalah ini. Selain itu, kadar albumin serum menurun, yang memengaruhi pengikatan protein terhadap berbagai jenis obat, termasuk narkotika. Secara umum dosis obat-obat yang berikatan dengan protein harus dikurangi pada awalnya dan dititrasi sampai pengurangan rasa nyeri dapat dicapai dengan aman.
PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN ANALGESIK
Cara terbaik untuk penatalaksanaan nyeri adalah untuk mencegah nyeri sebelum nyeri tersebut bertambah berat. Pasien harus diajarkan untuk menggunakan obat nyeri pada jadwal yang teratur untuk mencapai kadar obat yang adekuat dalam darah. Sayangnya, sebagian besar analgesic diminta sesuai kebutuhan. Seringkali pasien tidak mengetahui bahwa mereka harus meminta obat nyeri atau seberapa sering mereka dapat memintanya. Sekali lagi, pengajaran adalah komponen vital dari penatalaksanaan nyeri yang adekuat.
RUTE ORAL
Rute oral adalah rute yang dipilih untuk anlagesik. Sebagian besar analgesic tersedia dan bekerja efektif ketika diberikan secara oral, dalam dosis yang adekuat, dan sebelum intensiatas nyeri memuncak. Rute oral lebih murah dan mudah untuk digunakan daripada rute yang lain. Jika klien tidak mampu menelan tetapi menggunakan slang nasograstik atau gastrotomi untuk memasukkan makanan, analgesic oral harus diberikan melalui slang tersebut.
IJEKSI INTRAMUSCULAR DAN SUBCUTAN
Injeksi adalh cara terburuk untuk penatalaksanaan nyeri, terutama nyeri kronis, nyeri jangka panjang. Pemberian injeksi sangat menyakitkan, dapat menyebabkan masalah dengan absorpsi, memiliki waktu aksi yang pendek, kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan otot atau syaraf, dan harus diberikan oleh orang lain. Penuaan memengaruhi cara tubuh memproses obat-obatan. Massa otot dan jaringan subkutan menurun, demikian pula halnya dengan volume darah yang bersirkulasi. Kecepatan absorpsi mungkin tidak dapat diperkirakan bila obat diberikan secara intramuscular atau subkutan. Opioid yang disimpan dilokasi suntikan mungkin tidak akan sepenuhnya diabsorpsi samapai setelah dosis kedua diberikan, kemungkinan mengakibatkan depresi pernapasan atau sedasi yang berlebihan. Masalah absorpsi ini lebih sering terlihat pada paisen-pasien dengan nyeri akut daripada pasien-pasien dengan nyeri kronis.
Sebagian besar orang percaya bahwa injeksi adalah cara terbaik untuk menghilangkan nyeri karena memiliki awitan aksi yang cepat tetapi aksi tersebut tidak berlangsung lama. Pasien yang mengalami nyeri harus dianjurkan untuk menggunakan obat melalui oral secara teratur pada waktu yang telah ditentukan daripada menerima injeksi yang menyakitkan.
RUTE REKTAL
Rute rectal masih merupakan rute yang jarang digunakan untuk pemberian analgesic. Rute rectal harus direkomendasikan bila seorang pasien tidak dapat menggunakan analgesic oral. Morfin, hidromorfon, dan oksimorfon adalah supositoria yang tersedia saat ini. Obat-obat ini pada umumnya bertahan sekitar 4 sampai 5 jam, dan sebagian besar pasien dapat denagn mudah menggunakannya sendiri. Jika pasien tidak dapat diberikan analgesic melalui oral, mereka dapat dengan mudah meletakkan analgesic tersebut dalam kapsul gelatin dan menggunakannya melalui rectal. Pasien harus memeriksakannya kepada ahli farmasi atau dokternya sebelum melakukan hal tersebut. Namun, rute ini tidak boleh digunakan untuk pasien yang mengakami trombositopenia.
KOYO FENTANIL
Rute noninfasif lain yang sangat berguna adalah koyo transdermal yang mengandung opioid fentanil (Duragesik). Masalah-masalah yang berkaitan dalam pemberian dosis telah terlihat dengan rute pemberian ini, dan terdapat keterlambatan awitan selama 12 jam. Koyo tesebut dalah anlgesik 72 jam, tetapi sebagian besar pasien memerlukan sesuatu untuk penanganan nyeri. Pasien perlu dipantau selama 24 sampai 36 jam setelah koyo dilepas. Karena duragesik sangat mahal dan hanya sedikit studi tentang penggunannya pada lansia, obat ini tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien yang mampu menggunakan analgesic secara oral.
ADJUVAN
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adjuvant adalah obat yang bukan analgesic tetapi masih memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan analgesic lain. Obat-obat ini dianjurkan terutama untuk nyeri kronis.
Antidepresan trisiklik telah ditemukan efektif untu nyeri neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada SSP. Contoh dari nyeri neuropati adalah nyeri fantom pada tungkai, neuropati diabetic, neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pasca stroke. Tipe nyeri neuropati lain yang sering terjadi pada lansia adalah neuralgia pasca herpatik atau herpes zoster. Nyeri neuropati dapat menjadi salah satu tipe nyeri yang sulit untuk ditangani. Pasien-pasien menggambarkan nyeri ini sangat kuat dan membakar. Obat anti konvulsan, karbamazepin (Tegretol) telah diketahui efektif dalam menangani nyeri neuropati.
Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Dosis awal harus sangat rendah (10 mg). dosis untuk mengurangi nyeri lebih rendah daripada dosis yang dibutuhkan untuk mengurangi depresi. Efek samping lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adlah pandangan kabur, mulut kering, retensi urin, dan hipotensi. Kewaspadaan yang sangat tinggi harus dilakukan ketika obat-obatan ini harus diberikan kepada pasien yang mengalami glaucoma sudut sempit, atau retensi urin. Nortripsepin (Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan doksepin (Sinequan) memiliki lebih sedikit efek antikolinergis daripada trisiklik, sehingga kedua obat antidepresan ini direkomendasikan untuk lansia.
Lansia yang mengalami nyeri harus menghindari penggunaan obat-obatan sedative hipnotik karena obat-obat ini tidak membantu untuk mengurangi nyeri. Obat-obat ini dapat mendepresi SSP, yang dapat mempengaruhi keamanan klien, terutama jika ia menggunakan analgesic opioid.
INTERVENSI NONINVASIF
Walaupun nyeri terutama ditangani melalui penggunaan obat-obatan, beberapa teknik noninvasive dapat juga membantu mengendalikan nyeri; masase, relaksasi dan imajinasi, stimulasi saraf denag listrik transkutan (transcutaneus electrical nerve stimulation [TENS]), penggunaan kompres panas atau dingin, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnotis, dan akupresur. Teknik-teknik ini pada umumnya aman, tersedia dengan mudah, dan dapat dilakukan di rumah atau dalam lingkungan fasilitas perawatan akut.
Terdapat beberapa hal yang penting untuk diinagt ketika menggunakan terapi panas atau dingin atau TENS untuk lansia yang mengalami nyeri. Kewaspadaan diperlukan ketika menggunakan terapi panas atau dingin pada pasien dengan riwayat penyakit vascular atau diabetes. Luka bakar atau kerusakan jaringan akibat es dapat terjadi dengan mudah pada seseorang dengan penurunan sensasi atau penurunan tingkat kesadaran. TENS dikontraindikasikan pada lansia yang menggunakan pacu jantung karena stimulasi litrik dapat mengganggu kerja alat pacu jantung jenis-jenis tertentu.
STRATEGI RELAKSASI
Latihan-latihan ini dirancang untuk membuat seseorang yang cemas, stress menjadi relaks. Latihan ini dapat mengurangi nyeri secara efektif dengan cara melawan komponen stress. Strategi relaksasi termasuk imajinasi terbimbing, relaksasi otot progresif, dan pengobatan. Perawat dapat dengan mudah mengajarkan pasien untuk melakukan bentuk latihan relaksasi yang sederhana seperti nafas dalam dan memfokuskan pada suatu objek. Bentuk relaksasi singkat ini dapat efektif untuk mengontrol nyeri jangka pendek, dan nyeri tipe procedural.
Untuk tekhnik relaksasi yang lebih mendalam, perawat harus mewawancarai orang tersebut untuk menentukan strategi apa yang akan dipilih dan tepat. Perawat perlu untuk memerhatikan orientasi realitas orang tersebut, mood, dan motivasinya, yang krusial untuk mencapai keberhasilan.
Pasien dan keluarga harus diajarkan tentang pentingnya untuk tetap aktif. Melakukan latihan isometric dan latihan tentang gerak aktif dan pasif, bersama-sama dengan penggunaan potongan kayu atau barang logam untuk meningkatkan aktifitas akan menambah kesehatan fisik dan mental klien.
Karena lansia kaya akan pengalaman hidup, tekhnik distraksi yang sederhana dapat dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengingat masa-masa bahagia di masa lalu, denagn melihat album foto, dan dengan menceritakan cerita-cerita dalam kaset rekaman. Teknik apapun yang aman dan mudah untuk dilakukan sendiri oleh pasien sanagt bermanfaat untuk penatalaksanaan nyeri dan dapat membantu perawat dalam merawat pasien lansia yang mengalami nyeri.
DOKUMENTASI YANG ESENSIAL
Nyeri Akut
Nyeri akut harus dikaji dan digambarkan pada interval yang teratur dan bila terdapat perubahan dalam lokasi atau kualitasnya, hal-hal berikut ini harus dicatat :
- Lokasi dan pergerakan.
- Penampilan lokasi.
- Intensitas pada skala 0-10, dengan 0= tidak ada nyeri, dan 10-nyeri terburuk.
- Penguranagn nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan 0= nyeri hilang dan 10= tidak ada pengurangan nyeri.
- Alat-lat bantu yang digunakan pasien.
- Tindakan-tindakan penguranagn nyeri yang dilakukan.
- Keefektifan intervensi pada skala 0-10
Nyeri Kronis
Nyeri kronis harus dikaji dan digambarkan satu kali sehari dan bila terdapat perubahan kejadian atau kualitasnya.
- Lokasi dan pergerakan
- Intensitas pada skala 0-10, dengan 0= tidak ada nyeri, dan 10-nyeri terburuk.
- Penguranagn nyeri atau kenyamanan pada skala 0-10, dengan 0= nyeri hilang dan 10= tidak ada pengurangan nyeri.
- Alat-alat bantu yang digunakan pasien.
- Apa yang memperberat nyeri.
- Apa yang membuat nyeri lebih baik.
- Efeknya pada tidur, nafsu makan dan mobilitas.
- Tindakan-tindakan pereda nyeri yang dilakukan.
- Keefektifan intervensi pada skala 0-10.
3. PENCEGAHAN TERSIER
Perawat Sebagai Advokat Dan Edukator Pasien
Posisi perawat dalam merawat lansia yang mengalami nyeri meliputi menjadi model peran untuk orang lain untuk memeriksa sikap dan prasangka pasien pada nyeri. Perawat menjadi advokat dengan mengajarkan kepada lansia dan keluarganya untuk mengharapkan pengurangan nyeri yang adekuat. Perawat harus mengetahui sumber-sumber yang tersedia untuk nyeri dan penatalaksanannya untuk membantu lansia yang mengalami nyeri.
Nyeri bukan dan tidak boleh menjadi bagian normal dar penuaan. Melalui advokasi dan pengajaran, upaya perawat dan upaya berbagai pihak untuk mengurangi nyeri adalah langkah pertama dalam melawan masalah nyeri pada lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Jaimei,dkk. 2008. Askep Geriatrik. Edisi 2. Jakarta ; EGC.
Mickey Stanley, dkk. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta ; EGC.
Martono, Hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri Ilmi Kesehatan Usia Lanjut. Edisi ke-4. Jakarta ; Balai Penerbit FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar